YOGYAKARTA -- gaungriau.com -- Wakil Ketua MP R Mahyudin berpendapat idealnya setiap negara harus memiliki ciri demokrasi sendiri yang berbeda dengan negara lainnya. Contohnya negara Amerika Serikat dan Inggris menjalankan pemerintahan dengan gaya demokrasinya sendiri.
.
"Kita pakai demokrasi ala Indonesia saja yang tidak copy paste dari Barat. Kalau kita mengedepankan musyawarah mufakat itu lebih baik daripada harus melakukan voting yang menimbulkan luka bagi yang kalah dan jumawa bagi yang menang," kata Mahyudin saat membuka secara resmi kegiatan Press Gatehering Pimpinan MPR dengan Wartawan Parlemen di Yogyakarta, Jumat 19 Oktober 2018 malam.

Pembukaan dihadiri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani, pimpinan fraksi di MPR di antaranya Fary Djemi Francis (Ketua Fraksi Gerindra), Arwani Thomafi (Ketua Fraksi PPP), Capt Jhoni Rolindrawan (Ketua Fraksi Hanura), Ayub Khan (Sekretaris Fraksi Demokrat), Agathi Sulie (Fraksi Partai Golkar), El Nino (Fraksi Partai Gerindra), dan Sesjen MPR Ma'ruf Cahyono serta Kepala Biro Humas Siti Fauziah.

Mahyudin setuju dengan apa yang dikatakan Sri Sultan bahwa perlu dikaji ulang atau direnungkan pemikiran para founding fathers saat mendirikan negara Indonesia di tahun 1945 apakah sudah sesuai dengan perjalanan bangsa selama 73 tahun ini.
Evaluasi kedua, bagaimana semua partai bisa mengikat Indonesia ini tidak bubar.

Mahyudin mengakui demokrasi Indonesia adalah demokrasi berbiaya mahal. Untuk maju menjadi calon kepala daerah (gubernur) saja, paling sedikit harus mengeluarkan Rp 50 miliar.

"Jika dikaitkan banyak kepala daerah berurusan dengan hukum karena kasus korupsi, kita akui bahwa demokrasi kita mahal. Mau dibawa kemana bangsa ini ketika kepala daerah bahkan anggota dewan ditangkap KPK, " ujarnya.

Karena itulah, Mahyudin berharap pemilihan gubernur, bupati, walikota dilaksanakan secara musyawarah mufakat di DPRD saja. Itu lebih murah dan bisa menjamin pemimpin berkualitas. Sistem demokrasi langsung seperti sekarang ini, tidak bisa berjalan efektif karena mayoritas rakyat Indonesia masih banyak yang miskin.

"Kita pakai demokrasi ala Indonesia saja yang tidak copy paste dari Barat. Kalau kita mengedepankan musyawarah mufakat itu lebih baik daripada harus melakukan voting yang menimbulkan luka bagi yang kalah dan jumawa bagi yang menang," katanya.

Mahyudin berharap pemilihan gubernur, bupati, walikota dilaksanakan secara musyawarah mufakat di DPRD saja. Itu lebih murah dan bisa menjamin pemimpin berkualitas. Kita harus punya demokrasi sendiri ala Indonesia," kata wakil rakyat dapil Kaltim itu seraya berpesan kepada media untuk membuat berita yang sejuk dan tidak memanaskan suasana.

Sementara Sultan Hamengkubowono X memberi contoh dalam penerapan demokrasi. Korea Utara punya demokrasi ala Korea Utara. Negara Tiongkok mengatakan demokrasi ala Tiongkok. Amerika mengatakan demokrasinya ala Amerika. "Mengapa kita tidak bisa mengatakan demokrasi ala Indonesia?" tanya Sultan.

Misalnya, melibatkan oposisi dalam kabinet. "Jika ada orang di oposisi yang punya potensi, kenapa tidak masuk kabinet? Tidak ada yang dilanggar," ujarnya memberi contoh.

"Kalau dasarnya kebersamaan, bukan pemerintah dan oposisi, maka potensi orang-orang dalam oposisi bisa dimanfaatkan untuk membangun republik dengan kebersamaan," ujarnya.

"Dengan kebersamaan dan tepo seliro, pemimpin harus memberi pelayanan tanpa diskriminasi. Memberi ruang bagi minoritas. Bukan demokrasi barat yang memberi batas mayoritas dan minoritas," katanya.**(bbg)