BALIKPAPAN -- Gaungriau.com -- Perlindungan pasien telah menjadi isu krusial dalam penyelenggaraan layanan kesehatan seiring dengan belum optimalnya pemenuhan hak pasien di daerah.

Wakil Ketua Komite III DPD RI, Abdul Azis menyampaikan hal itu dalam Kunjungan Kerja Komite III DPD RI, Senin 5 Februari 2018 di Balikpapan bahwa RUU Perlindungan Pasien sangat dibutuhkan sebagai payung hukum yang menjembatani problem yang dihadapi pasien sebagai konsumen jasa medis yang harus terpenuhi haknya sekaligus berfungsi sebagai preventif action bagi lembaga dan tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan tugas dan fungsinya.

Rapat Kerja Komite III DPD RI di Balikpapan diselenggarakan bersama mitra di daerah untuk menghimpun aspirasi masyarakat. Pemangku kepentingan yang hadir dalam Rapat Kerja kali ini antara lain: H. Muhammad Rizal Effendi, SE (Walikota Balikpapan), Dinas Kesehatan Kota Balikpapan, Rumah Sakit Daerah Kota Balikpapan, Direktur Rumah Sakit Umum Propinsi Kalimantan Timur, Rumah Sakit Swasta, Ketua Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) Kota Balikpapan, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kota Balikpapan, Kepolisian Daerah, Balai POM, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ) Kota Balikpapan, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Abdul Azis memaparkan bahwa negara telah menjamin hak asasi setiap anggota masyarakat untuk mendapatkan pelayanan optimal di bidang kesehatan sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hak asasi manusia ini memiliki sifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).

“Namun realitas di masyarakat, masih saja terdapat permasalahan yang dihadapi pasien dalam hubungannya dengan tenaga medis dokter, tenaga kesehatan lainnya maupun rumah sakit atau poliklinik kesehatan,“ tandasnya.

Selama ini masalah yang dihadapi pasien terjadi dalam berbagai bentuk. Misal, kelalaian profesi Dokter dan tenaga kesehatan lainnya sehingga berdampak merugikan pasien. Rumah sakit juga sangat diharapkan memahami perannya dalam pelayanan pasien sebagai konsumen. Pasien seringkali dirugikan baik secara fisik maupun non fisik sehingga mengajukan sengketa hukum. Berbagai aduan masyarakat terhadap layanan kesehatan baik yang bersifat non medis maupun medis menjadi penanda belum paripurnanya layanan kesehatan di Indonesia.

“Kecenderungan yang terjadi layanan kesehatan dianggap sebagai komoditas ekonomi ketimbang sosial. Dampaknya mengancam keadilan sosial dan bertentangan dengan UU Kesehatan. Pasien sebagai objek utama harus terjaga kepentingannya dari dominasi ekonomi baik dalam hubungannya dengan rumah sakit, dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya”, ujar Senator ini.

Sedangkan Senator Kalimantan Timur, KH Muslihuddin Abdurrasyid, Lc menjelaskan RUU Perlindungan Pasien dibutuhkan dari segi keselamatan pasien (patient safety). Hingga saat ini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang perlindungan pasien.

Dalam kesempatan ini Walikota Balikpapan, H. Muhammad Rizal Effendi, SE memaparkan bahwa Perlindungan pasien merupakan hak asasi setiap anggota masyarakat namun Pemerintah mengalami keterbatasan yang dialami lembaga Rumah Sakit dan Puskesmas, tenaga medis, BPJS.

Beberapa permasalahan pelayanan Pasien yang dihadapi Kota Balikpapan antara lain : komplain pasien terhadap pelayanan rumah sakit, ketersediaan sarana prasarana rumah sakit terutama pada rumah sakit swasta kelas D terutama pada peralatan resusitasi gawat darurat, kurangnya pemahaman pasien terhadap hak dan kewajibannya, pertumbuhan rumah sakit yang sangat pesat tidak sebanding dengan jumlah dokter spesialis, jumlah tenaga kesehatan di puskesmas dan RSUD terbatas (moratorium) serta jumlah ruang NICU/ PICU yang sangat terbatas.

Kondisi saat ini Balikpapan sudah dikategorikan mengalami kejadian luar biasa Difteri, ini berdasarkan pada hasil pemeriksaan kultur yang ada di kota Balikpapan. Hanya saja di masyarakat masih terdapat golongan – golongan masyarakat khususnya dari kelompok agama yang menolak pemberian vaksin. Kemitraan dengan DPD merupakan salah satu alternatif solusi permasalahan kesehatan.

Senator KH Muslihuddin Abdurrasyid, Lc juga mengungkapkan pelayanan kesehatan memiliki pekerjaan rumah yang harus dibenahi yaitu BPJS yang berdampak persediaan obat, dan jaminan pendanaan yang terlalu lama.

Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia ( PERSI ) menjelaskan kondisi yang terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mengungkapkan sampai saat ini sudah ada upaya perlindungan pasien yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Rumah Sakit. Komisi Akreditasi Rumah Sakit yang berfungsi memberikan penilaian mutu dan pelayanan pasien. Terdapat beberapa hal yang penting dalam perlindungan antara lain : kecukupan dan kompetensi SDM, sarana dan prasarana medis, sistem yang dibangun atau kinerja manajemen yang dibangun, anggaran / dana dan monitoring ( Dinas Kesehatan, Komisi Akreditasi Rumah Sakit ).

Standar kedokteran menekankan pelayanan terbaik dengan mutu tertinggi sedangkan BPJS memfokuskan pada biaya rendah sehingga tujuannya agar optimal tidak tercapai. Selama ini BPJS membayar jaminan dengan dana yang sangat kecil dan persediaan obat seringkali tidak tersedia.

Kunjungan Kerja kali ini diikuti oleh 10 Senator Komite III DPD RI antara lain; H Abdul Azis, SH ( Sumatera Selatan ), KH Muslihuddin Abdurrasyid, Lc, M.Pdi ( Kalimantan Timur ), Drs. Muhammad Afnan Hadikusumo ( DIY ), Rosti Uli Purba (Riau), H. Oni Suwarman, AMd ( Jawa Barat ), Pdt. Charles Simaremare ( Papua ), Maria Goreti, S.Sos, M.Si ( Kalimantan Barat ), Ir. H. ABD Jabbar Toba ( Sultra ) dan Drs. H. Lalu Suhaimy Ismy ( NTB ).**(rls)